Susi Ivvaty

Wastra Nusantara yang Aduhai........

Related Posts

(Liputan lapangan di Sumba Nusa Tenggara Barat)


Wati Liwar (43),
 pedagang tenun dari Kampung Raja Sumba Timur NTT




Perempuan dari Desa Praingu Lewa Paku Sumba Timur
menari untuk menyambut tamu


Kain tenun sumba dengan motif orang menari dan  menunggang kuda.
 Sungguh indahnya
 Wati Liwar (43) menggantungkan kain-kain tenunnya di tali tambang yang dibentangkan dan diikat di antara dua pohon. Perajin dan pedagang tenun dari Kampung Raja, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, itu bertandang ke Kampung Praingu karena mengetahui ada perayaan adat di sana. Banyak tamu dari luar kota datang. Siapa tahu mereka mampir, tertarik dengan kain-kainnya, dan membelinya.

              Wati datang bersama ibunya, Kristina Kupang, yang mengajarinya menenun dan berjualan kain semenjak ia kecil. Sungguh sangat indah kain-kain milik Wati. Motifnya sangat khas Sumba Timur, seperti motif orang, binatang, tetumbuhan, dan bebungaan. Ada motif kesatria menunggang kuda, pasukan berpedang, dan beragam motif yang bertutur. Motif-motif itu menggambarkan sejarah kehidupan orang Sumba pada masa lalu dan masa kini.

              Pada pagi hari di awal November itu, Praingu Lewa Paku memang sedang semringah. Warga menggelar hajatan adat sebagai tanda bersyukur atas rezeki yang datang. Sebagian besar mereka, laki-laki dan perempuan, mengenakan kain tenun ikat beragam motif dan warna. Umbu Mboru, Ketua Komunitas Adat Praingu Lewa Paku, mengenakan sarung dan ikat kepala berwarna dasar coklat. Para penari berseragam kain tenun dengan dominasi warna merah dan biru. Para ibu mengenakan kain tenun songket bersulam warna emas. Hari itu sungguh mata seperti ditetesi vitamin berupa keelokan tenun songket Sumba Timur.

             Biasanya setiap ada hajatan di desa, pedagang kain seperti Wati Liwar ini datang dan menggelar lapak, sejenak meninggalkan kiosnya di pasar. Tidak hanya tenun, tetapi ada juga beragam aksesori, mulai dari kalung dan gelang dari batu hingga benda antik. Para pedagang kain juga berjualan di pelataran samping hotel, apalagi jika mengetahui ada turis mancanegara datang menginap.

           ”Ikat dan selendang paling laris. Yang beli kebanyakan turis dan juga pesanan untuk upacara adat,” kata Wati yang memintal sendiri benang-benang menggunakan pewarna alami, seperti akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah dan daun nila untuk biru.

             Wati pernah mengikuti pelatihan yang digelar Dewan Kerajinan Nasional daerah tentang pewarnaan alam. Dengan sistem kerja baru, pemintalan dan penenunan menjadi lebih singkat, dari enam bulan menjadi tiga bulan. ”Kami memanfaatkan pohon-pohon sekitar, daun sukun, mangga, dan secang,” ujar Wati yang menjual kain-kainnya paling jauh ke Bali.

          Sama seperti Wati, pedagang kain Yustinus Katuhi Rangga Djawa juga mengandalkan pesanan meski ia memiliki toko Galeri Rihi Eti (artinya: hati lebih, murah hati, baik hati) di Pasar Inpres Waingapu, Sumba Timur. ”Pesanan selalu ada karena untuk upacara adat. Setiap Selasa dan Kamis juga setiap kantor harus pakai pakaian adat,” kata Yustinus yang menjual kainnya Rp 400.000 hingga Rp 5 juta per lembar atau per sarung. Yustinus juga menerima titipan kain dari para perajin, antara lain dari Kampung Manyili, Rende, dan Melolo, untuk dijual di tokonya.



Kain tenun khas Sumba yang berusia 80 tahun
 di museum milik Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba
 di Sumba Barat Daya NTT

Kain tenun sunda bermotif binatang serta dekoratif lain yang sarat makna


Sejarah kebudayaan

          Kain tenun Nusantara, termasuk di Sumba, memiliki sejarah panjang. Tradisi menenun diwariskan dari generasi ke generasi sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu. Dulu, tenun tidak hanya untuk pembalut tubuh, tetapi juga alat barter, mas kawin, dan upacara adat.

           ”Tenun ini memuat sejarah kebudayaan. Dulu, di Sumba, satu lembar sarung tenun yang bagus bisa ditukar dengan seekor kuda. Menenun dilakukan oleh hampir semua perempuan. Saya pun bisa bersekolah karena tenun Mama. Kain tenun ikat Sumba Timur, menurut saya, paling indah dan ada di museum-museum mancanegara. Selembar kain memiliki makna, berbicara lewat simbol. Motif buaya, misalnya, melambangkan kekuatan, sedangkan penyu simbol kelembutan,” tutur Ketua Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba Robert Ramone saat ditemui di kantornya di Sumba Barat Daya. Di museumnya, Robert menyimpan kain tenun berusia 80 tahun.

         Kayanya nilai budaya lokal dalam kain tenun ini pulalah yang menggerakkan hati desainer Merdi Sihombing untuk mengembangkan kain tenun Nusantara. Kain tenun memuat kearifan lokal yang bernilai tinggi dan mendefinisikan Indonesia. Kisah-kisah filosofis di dalam motif tenun Nusantara menjadi kekuatan yang membedakan fashion Indonesia dengan negara lain. Selain Merdi, desainer Oscar Lawalata dan Stephanus Hamy juga mengembangkan wastra Nusantara dalam desain mereka.

          Dalam buku Perjalanan Tenun Merdi Sihombing (2013), Merdi menuturkan perjalanan mode wastra Nusantara-nya yang ia sebut travels in cloth selama satu dekade. Sebagai seorang Batak, Merdi memulai perjalanan yang ia sebut sebagai eksplorasi budaya tekstil dari tanah kelahirannya. Selanjutnya, ia menjelajahi Batubara di Sumatera Utara, Mentawai di Sumatera Barat, Bungo di Jambi, Dayak di Kalimantan Timur, Banten, Rote Ndao dan Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Papua. Di Papua, ia bahkan memodifikasi noken untuk dijadikan produk fashion.

          Tenun menyusul batik yang lebih dulu mengglobal dan telah ditetapkan menjadi warisan dunia. Sertifikat Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyebutkan, batik merupakan warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (masterpiece of the oral and intangible cultural heritage of humanity). UNESCO juga memberikan sertifikat best practice untuk Diklat Warisan Batik Indonesia pada 2 Oktober 2009, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Batik Indonesia.

Steven, pedagang kain di Pasar Tradisional Radamata, Sumba Barat Dayaa, NTT.
 Satu lembar kain tenun ia jual antara Rp 250.000 hingga Rp. 400.000


         Dalam bukunya, Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaan (Penerbit Andi, 2013), Adi Kusrianto menolak jika batik hanya disebut sebagai teknik perintang warna. Kalau hanya teknik perintang saja, semua daerah di dunia juga punya. Bahkan, teknik perintangan ini sudah muncul sejak zaman Paleolitikum untuk membuat lukisan. Batik adalah kain dengan hiasan yang dibuat dengan teknik wax resist dyeing (teknik perintang lilin) yang menggunakan ragam hias tertentu dengan kekhasan budaya Indonesia sebagai busana atau keperluan lain.

        Setelah perkembangan motif batik, pasca pergerakan revolusi, Bung Karno pada 1950-an memikirkan munculnya batik nasional. Bukan lagi batik dari Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Cirebon, atau Lasem. Tokoh yang menggawangi lahirnya batik nasional di antaranya KRT Hardjonagoro (Go Tik Swan), Iwan Tirta, dan Saridjah Niung Bintang Soedibjo (Ibu Soed). Batik digabungkan dengan teknik anyaman (tenun) dan bordir (sulaman) sehingga muncullah istilah adiwastra. Luar biasa eloknya batik kita ini.


Emerensiana Kadi (34), perajin tenun dari Sumba Barat Daya NTT menenun kain di rumahnya untuk dijual ke pasar. Satu lembar kain biasa ia selesaikan dalam lima hari, di sela kesibukannya sebagai guru dan ibu tiga anak


Gadis Sumba mengenakan tenun untuk menari


Wastra di era MEA

         Benar Indonesia memiliki kekuatan wastra yang banyak dan bagus. Akan tetapi, pemanfaatannya belum optimal. Ada perbedaan kemajuan antara sentra-sentra wastra di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Indonesia sebelah barat (Jawa, Sumatera, Bali) lebih maju dibandingkan dengan Indonesia tengah (Nusa Tenggara Barat, NTT, Kalimantan, Sulawesi), apalagi Indonesia timur (Maluku, Papua). Perbedaan itu tidak saja menyangkut perbedaan infrastruktur fisik, komunikasi, dan dukungan pemerintah, tetapi juga semangat dan kompetensi untuk bersaing. Hal ini dikatakan Koordinator Sentra Kreatif Rakyat (SKR) William Kwan.

        ”Contoh, masyarakat luas di Indonesia masih belum mengenal kain batik Batang dan kain batik Pacitan, padahal usia industri batik di Batang dan Pacitan sudah ratusan tahun lamanya. Kita tidak mengenal adanya bekas pabrik pewarna indigo Hindia Belanda di belakang Candi Borobudur. Masyarakat umum di Toraja sudah tidak mengetahui bahwa kain sarita dulu dibuat dengan teknik batik,” papar William.

          Sebagian kecil daerah siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, misalnya Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Namun, sebagian besar belum siap. Ketidaksiapan sentra-sentra wastra tersebut sudah ditunjukkan saat ini, saat mereka diserbu produk substitusi dari daerah lain yang menggunakan teknologi lebih modern dan harga lebih murah.

         ”Sebagai contoh, tenun tradisional di Sumba, Flores, Timor, atau Toraja tertekan oleh serbuan produk imitasi berupa tenun ATBM (alat tenun bukan mesin) dan batik printing dari Jawa. Sudah jadi rahasia umum, tenun ATBM dari Troso (Jepara) dan batik printing Pekalongan atau Solo dengan motif tenun Sumba dijual di Pulau Sumba sendiri sehingga mendesak penjualan tenun ikat tradisional buatan perajin di Sumba Timur dan Sumba Barat,” ungkap William.



Warga Kampung Bukaregha Kecamatan Loura Sumba Barat Daya NTT,
 lelaki dan perempuan, mengenakan kain tenun dalam satu upacara adat,
 5 November 2014


         Bagi William, saat ini dibutuhkan pemetaan daya saing per sentra wastra tradisional, baik dari sisi pengetahuan produk, mutu produk, desain, harga jual, kemampuan pemasaran, maupun manajemen kewirausahaan secara umum. Koreksi untuk peningkatan daya saing dilakukan secara kontekstual dan komprehensif.

         William sendiri saat ini masih membina SKR di lima daerah percontohan, yaitu Batang, Pacitan, Magelang, Toraja Utara, dan Manggarai Barat. Baguslah, para perajin tenun di Manggarai Barat, NTT, kini tidak hanya mengenal warna hitam dengan tenun sederhana. Sejumlah kelompok tenun kini belajar membatik dan menyulam.

         Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada kabinet Indonesia sebelumnya telah menjabarkan kekuatan wastra Nusantara ini menjadi produk ekonomi kreatif. Menteri Mari Elka Pangestu waktu itu berharap Indonesia mampu menjadi salah satu pusat mode dunia pada 2025. Indonesia menjadi trendsetter, bukan follower. Pemanfaatan kekayaan budaya lokal dalam dunia mode membuat Indonesia unik di mata dunia (Kompas, 28 November 2014). Foto-foto: Susi Ivvaty


About the Author
susiivvaty

Share a little biographical information to fill out your profile. This may be shown publicly. Share a little biographical information to fill out your profile

No comments :

Leave a Reply

Our mission of increasing global understanding through exploration, geography education, and research.