Susi Ivvaty

Dua Jam Bersama Sopir Angkot Indra

Related Posts

Mau tahu kebiasaan saya saat menyambangi satu daerah‎? Menjajal kuliner setempat, ya, itu pasti. Namun ada kebiasaan lain lagi yang mengasyikkan, yakni berkeliling kota naik angkutan umum. Tentu ada syaratnya, jika waktunya memungkinkan. 
                Angkutan umum tentu bisa apa saja, mulai dokar atau cikar atau benhur, hingga taksi. Mari kita singkirkan taksi. Jelaslah, taksi di Jakarta banyak. Lagipula, taksi umumnya hanya ada di kota-kota besar. Jadi yang saya maksud adalah angkutan khas daerah setempat serta yang lebih umum adalah angkot.
                Sewaktu melancong ke Nunukan Kalimantan Utara pada awal April 2015, ‎saya memiliki berjam-jam waktu kosong. Acara inti digelar pada malam hari berupa pentas musik tradisi dan moderen, sehingga waktu luang pagi hingga sore bisa dimanfaatkan untuk berkeliling kota.
                Pagi menjelang siang, saya keluar hotel dan mulai menunggu angkot yang lewat. Sebelumnya saya bertanya pada pemilik warung kelontong di samping hotel. "Ada angkutan lewat. Bilang saja mau ke mana, nanti diantar," katanya. "Saya mau ke pasar, nomor berapa angkotnya," tukas saya. "Tidak ada nomor, bilang saja mau ke mana," lanjut Bapak itu lagi. 
                 Pas selesai obrolan kami, tak lupa saya membeli sebotol air mineral "biasa" (untuk membedakan dengan yang dingin)‎, lewatlah angkot warna hijau. Saya melambaikan tangan. Wah, tak ada penumpang lain. 
               "Mau ke pasar". "Pasar baru atau pasar malam?" sahut sopir angkot, yang belakangan diketahui bernama Indra. "Ini kan siang, masak pasar malam?‎ Pasar apa saja". Lalu mulailah saya melewati jalan yang ternyata tidak semuanya datar. Ada jalanan yang cukup terjal dan cukup curam. 
                Kami melewati jalan yang sejajar dengan laut. Pelabuhan, deretan warung, rumah penduduk, tanah lapang, lalu lapak-lapak yang cukup riuh oleh kerumunan orang. "Ini pasar? Pasar apa?" tanya saya. "Itu jualan batu akik". "Oooooh......". Angkot terus melaju dan tak ada seorang pun penumpang yang naik. 
                 Indra menghentikan mobilnya di ujung jalan, sebelum kelokan ke arah kanan. "Itu pasar ikan di ujung. Yang di pinggir jalan pasar malam". Pasar malam lagi. "Pasar ini ramainya kalau malam, kalau siang sepi. Makanya dinamai pasar malam," papar Indra, menjawab keheranan saya soal nama pasar malam itu. 
                 "Berapa?". "Tujuh ribu". "Nih, gak usah kembali," kata saya sambil menyodorkan selembar Rp 10.000. Saya turun dan angkot pun menjauh. Saya berjalan menyusuri deretan kios yang masih tutup. Beberapa kios pakaian terlihat buka. Saya berhenti sejenak, barangkali ada kain, sejenis kain buatan lokal atau tenun. Nihil.

Penjual sayur di Pasar Liem Hie Djung 

                Sampailah saya di pasar ikan, persis di pinggir pantai, yang rupanya bernama Pasar Tradisional Liem Hie Djung. Di sana berderet penjual ikan‎ tongkol, kakap, bandeng, kuwe, kembung, hingga udang. Penjual sayur-mayur tentu ada juga, sedangkan di bagian ujung terdapat warung makan. 
               Puas memotret ikan-ikan segar, saya duduk sejenak di dekat warung, memesan secangkir kopi pahit. Kepala buruh bongkar muat ikan, Syamsudin, atau biasa disapa Pak Cambang (kamu tentu tahu alasan sapaan itu kan?) mengatakan, saban hari ikan yang terjual di pasar ini mencapai 500 kilogram. "Pasar-pasar lain di Nunukan biasa ambil ikan di sini juga," kata Pak Cambang yang asal Bugis Sulawesi Selatan itu. 

Penjual ikan di pasar Liem Hie Djung 
Perahu nelayan di Pantai Nunukan Kaltara

Ikan di Pasar Liem Hie Djung


                Perut mulai lapar, dan saya pun meninggalkan pasar, berjalan sambil melihat-lihat hasil jepretan di kamera. Baru sadar, saya lupa mengatur white balance dan ISO. Pantesan gambarnya ada yang aneh. Saya berjalan ke luar pasar, dan kaget saat ada suara seperti menyapa saya, "Bu... bu.....". Mata saya mencari arah suara. Dan, waks, sopir angkot yang tadi.
                Sopir itu memarkir angkotnya beberapa meter dari pasar, yang berarti sekitar seratus meter dari jalan besar tempat saya turun dari angkotnya tadi. "Lho, kok di sini?" Saya menghampirinya dan naik. Kali ini saya duduk di depan. 
                 "Saya sudah muter dua kali tapi sepi, tidak ada penumpang, jadi saya ke sini saja, nunggu ibu," katanya. "Waaah. Gak ada penumpang? Ya sudah kita keliling lagi yuk. Antar saya ke pelabuhan yang lain, warung makan yang enak, dan tempat-tempat lain". Angkot yang setengah ringsek dengan suara kenalpot keras dan pintu depan sulit dibuka-tutup itu kembali melaju.
                ‎ Sampai di pelabuhan penumpang Nunukan. Mata saya langsung melotot melihat deretan warung makan di samping kiri pelabuhan. Perempuan pemilik warung sedang khusuk membakar ikan bandeng. Asap mengepul. Bau harum. Hadeeeeh. Saya turun, dan Indra pamit mau sholat dhuhur di masjiid tidak jauh dari pelabuhan. "Makan dulu aja yuk bareng," ajak saya. "Saya sudah makan". Okelah.
                  Nasi pulen dengan lauk bandeng bakar plus sambal tomat kemangi ‎siang itu menjadi santapan terlezat selama tiga hari di Nunukan. Gurihnya bandeng hasil tangkapan pagi tadi, guandeeem. Sambelnya mak nyoosss. Oh ya, ada tambahan sop. Rupanya, lagi-lagi, yang jualan perantau asal Bugis. 
                Makan selesai, pas Indra datang. Eh hujan. Saya pun ditemani Indra kembali berkeliling kota dengan angkot. Saya betul-betul menjadi satu-satunya penumpang Indra hari ini. "Oh ya, namanya siapa?", tanya saya. "Indra". (nah kan, namanya memang Indra kok, hihihi). Kami pun berhenti di toko pakaian, melihat-lihat saja modelnya dan bahannya yang sama belaka dengan umumnya pakaian toko. Eh, denger-denger ada toko yang jual barang branded tapi bekas. Lihat sajalah. Kabarnya, penjual baju itu sering menemukan uang di saku baju, bahkan cincin atau jam tangan milik si empunya baju.
               "Eh, Indra, trus gimana memenuhi kebutuhanmu kalau sepi penumpang begini?". "Ya dicukup-cukupkan. Ini mobil saya sewa bulanan. Rp 1 juta sebulan. Itu tuh rumah yang punya," kata Indra sambil nunjuk rumah di sisi kanan. Hmmm..... sejuta sebulan, dapat lebih gak ya, si Indra?
                Saya mulai menghitung. Misalnya sehari mendapat Rp 50.000, dikali 30 berarti Rp 1.500.000. Berarti Indra hanya mendapat Rp 500.000. Waaah.... Kalau sehari ada 10 penumpang, berarti 10 X Rp 7.000‎ = 70.000. Kalau konsisten dapat segitu, berarti 70.000 X 30 = 2.100.000. Indra mendapat Rp 1.100.000. Hmmmm

Ini dia sopir angkot Indra


Indra


Bandeng bakar jozz #sederhana


              "Kamu umurnya berapa?". "23 tahun". "Sudah punya istri, anak?" . "Belum". Ah, cukuplah hasil narik kalau hiidup sendirian, pikir saya. "Mengapa sih kamu merantau? Bukannya enak di Bugis sana, Sulawesi, daripada di sini?," tanya saya, penasaran. Indra diam saja. "Gak pengin balik ke Sulawesi?". "Mungkin saja," sahutnya. Okelah...
                Setelah merasa cukup, saya meminta Indra mengantar ke hotel. Saya berdoa, semoga setelah ini ada banyak penumpang naik angkotnya, masih ada sisa hari sampai sore. Oh ya, tadi sewaktu berangkat dari pasar ikan, Indra sempat bertanya, "Angkot di Jakarta berapa?". Saya jawab Rp 4.000-Rp 5.000, dan ia menggumam, "Lebih murah ya"
                 Sampai hotel. Kalau melihat jam di ponsel, kira-kira dua jam saya bersama Indra, tapi sudah termasuk nongkrong di pasar (waktu ngopi di pasar diitung karena Indra nunggu di depan pasar). Saya mengeluarkan selembar Rp 50.000. "Rp 20.000 saja bu," kata Indra. "Gak ada, ini diterima ya, kan tadi sudah ditunggu makan ikan. Harusnya justru kurang". Indra masih berusaha menolak dan mencari-cari kembalian dari tasnya. Jangan-jangan dia ngitung tarif angkot di Jakarta, Rp 5.000 X 4 = Rp 20.000. Sungguh sopir angkot yang baik.
             Saya meloncat turun dari angkot, lalu dada dada.. ke Indra. "Semoga rezekimu lancaaaaar yaaaaa," kata saya mengiringi deru mesin angkot yang menjauh......

(Kalau Anda menduga kami saling tukar nomor ponsel, berarti Anda terpengaruh cerita sinetr**)


About the Author
susiivvaty

Share a little biographical information to fill out your profile. This may be shown publicly. Share a little biographical information to fill out your profile

2 comments :

Our mission of increasing global understanding through exploration, geography education, and research.