Susi Ivvaty

Masa Kecil 7

Related Posts

Bapakku seorang kyai salaf. Mmmm, maksudnya kira-kira ulama lulusan pesantren tradisional, begitulah. Biasanya pesantren demikian mengikuti organisasi Nahdhatul ULama (NU) dan penganut madzhab (aliran) Imam Syafi'i. Dalam hal fiqih, Imam Syafi'i adalah panutannya. Contohnya, kalau mau sholat lalu senggolan dengan orang berlainan jenis ya batal. Atau, aurat yang harus ditutup sewaktu sholat bagi perempuan adalah muka dan telapak tangan. Aturan-aturan seperti itulah.

Baiklah. Bukan itu yang ingin kubicarakan sebenarnya. Aku ingin bilang, bahwa karena bapakku adalah orang pesantren dan diberi status kyai oleh masyarakat, otomatis anaknya pun harus taat beribadah. Lebih bagus kalau bisa memberi contoh.

Aku mulai mengenal kata "ngaji" barangkali sejak masih dalam kandungan. Bapakku mengaji sewaktu perut ibuku membuncit. Sewaktu aku lahir, bapak pun mengaji. Hari-hari bayiku selalu diisi lengkingan suara bapak membaca ayat Al-qur'an. Jangan salah, bapakku qori' dan pemain orkes gambus di kotanya. Jadi, ditanggung suaranya pastilah siiippp.

Aku tak ingat kapan aku mulai bisa membaca huruf hijaiyah dan akhirnya bisa mengaji Al-Quran. Mungkin, mengaji sangat mudah dipelajari hingga aku benar-benar tak ingat pernah belajar. Lancar...car....

Ada lagi ngaji yang lain, yakni ngaji kitab kuning alias kitab gundul. Untuk ngaji ini, aku harus menguasai ilmu tata bahasa Arab atau istilah pesantrennya Nahwu dan Sharaf. Nahwu dan Sharaf sama dengan linguistik dalam tata Bahasa Indonesia.

Aku ngaji kitab di sebuah pesantren kecil tak jauh dari rumah. Di sana aku masih juga belajar Tajwid untuk membaca Al-qur'an secara benar. Selain itu, aku belajar kitab Safinah dan Taqrib (ini soal fiqih), lalu Nahwu dan Sharaf, lalu belajar ilmu Tauhid (ketuhanan), dan Tarikh (sejarah Islam). Pokoknya komplit plit.... Naik tingkat, aku belajar tafsir Jalalain (ini tafsir Al-Quran paling sederhana dan pendek). Kelak, aku belajar juga Qawaidul Fiqhiyah atau semacam filosofi aturanlah.

Wis lah. Pokoknya, masa kecilku seperti kekurangan waktu saja. 24 jam sehari rasanya tidak cukup. Sekolah, ngaji, bermain...... Otakku gak kuat. Maka jangan heran jika banyak ilmu yang lenyap begitu saja. Lupa semuanya, hahahahahah.... (tapi, bukankah yang penting adalah mengamalkan ilmu?)

Ngaji sudah seperti santapan wajib buatku. Subuh ngaji, maghrib ngaji, usai maghrib hingga usai isya' ngaji lagi. Belum kalau ada pengajian tambahan di sebuah langgar dekat rumah. Aku ikut juga. Ngaji ngaji ngaji...... Bahkan mandi pun ada aturannya, harus pakai "telesan" (semacam kain penutup agar mandinya tidak telanjang bulat). Katanya, malaikat penjaga diri akan malu melihat "anu" kita. Itu katanya. Namun kata bapak, itu bagian dari adab atau sopan santun saja. Kata bapak, bahkan dalam berhubungan seks pun kita tak boleh telanjang bulat. Wah wah wah......

Otak kanak-kanakku belum bisa protes. Ngaji..ngaji...ngaji....Aku menjalaninya sebagai rutinitas. Aku bertemu teman yang sama setiap sore. Kadang, saking bosannya ngaji, aku berceloteh saja seperti bayi di dalam kelas. Atau, bergunjing soal ustad yang sedang bicara bla bla bla....

Ayo ngaji...ngaji...ngaji... Cari ilmu dan pahala sebanyak-banyaknya.......

.....bersambung....


About the Author
susiivvaty

Share a little biographical information to fill out your profile. This may be shown publicly. Share a little biographical information to fill out your profile

No comments :

Leave a Reply

Our mission of increasing global understanding through exploration, geography education, and research.