Susi Ivvaty

Masa Kecil 4

Related Posts

Tiba waktunya aku masuk sekolah dasar. Masih ingat banget saat diantar bapak pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak dari rumah ke sekolahku dekat saja, sekitar 100-an meter. Itu hari pertama aku masuk sekolah, dan aku hanya membawa sebuah buku tulis, pensil, dan penghapus.

Ibu guruku bernama Bu Tun: nama yang simpel, mudah diingat, dan mudah diucapkan (terutama buat orang Jawa). Hari pertama, selain berkenalan kami juga diajari membaca dan menulis, tepatnya mengenal abjad dan angka. Ini sih aku sebut sebagai pengulangan, karena aku yakin sebagian besar temanku pasti sudah bisa membaca dan menulis sewaktu lulus TK. Barangkali karena tidak mengetahui kurikulum dan berfikir pendek, bapakku protes (waktu itu para orangtua memang dibolehkan ikut masuk kelas). "Masak sudah masuk SD masih diajari seperti itu? Pelajaran apa itu" teriak bapak dengan lantang.

Semua yang mendengar menoleh ke arah bapak. Bapakku masih saja tertawa dengan --sedikit-- sinis. Wah, aku malu sekali lo waktu itu, takut kalau ibu guru membalas perlakuan bapakku itu ke aku. Apa kek, mana aku tahu. Namun, BuTun menjelaskan dengan sabar dan tidak emosional. Bla bla bla....singkat kata bapakku mulai manggut-manggut.

Esoknya, esoknya lagi, dan esoknya lagi, aku merasa Bu Tun seperti tidak menyukaiku. Pernah ia bertanya kepada semua murid tentang pekerjaan orangtua masing-masing. "Bapakmu bekerja di mana, Mimi?"
"Di pasar, Bu," jawab Mimi.
Bu Tun beralih ke aku, "Bapakmu bekerja di mana?"
"Di Temanggung," jawabku mantap.
Bu Tun tampak kurang sreg dan beralih ke Herman. "Bekerja di mana Bapakmu?"
"Di Depag, Bu (maksudnya Departemen Agama)," sahut Herman.
"Bagus. Ya begitu itu jawaban yang benar," kata Bu Tun sambil melirikku.
Aku sempat bingung. Bukankah "di mana" adalah pertanyaan untuk tempat? Apa salahnya aku menjawab Temanggung? Tapi, jawaban Herman betul juga. Bukankah Depag juga nama tempat? Atau nama instansi? Wah wah wah........aku merasa betul-betul blo'on waktu itu.

Aku merasa, Bu Tun memberikan perhatian khusus padaku. Apa ia masih sakit hati dengan protes bapakku waktu itu ya? Namun, lambat laun aku mulai enggan memikirkannya, tentu karena aku harus berkonsentrasi pada pelajaran sekolah yang mulai makin sulit. Selain itu, aku juga mulai mempunyai banyak teman dan kegiatan.

Kelas dua, pengajar masih tetap Bu Tun. Namanya juga SD Negeri. Sudah miskin, guru minim. Ya pasrah sajalah. Aku merasa, sikap Bu Tun tidak lagi seperti dulu. Yang jelas, ia makin baik dan tetap sabar membimbing murid-muridnya.

Kelas tiga.......selamat tinggal Bu Tun. Guru kami sudah berganti. Begitu pula kelas empat, kelas lima, dan kelas enam. Namun, hubunganku dengan Bu Tun seperti tidak pernah luntur. Aku dan beberapa teman dekat seperti Wati, Fauziya, Ruroh, Herman, dan Anto masih selalu main ke rumah Bu Tun, guru pertama kami di SD. Kalau tidak berenam, ya hanya bertiga saja, aku, Wati, dan Fauziya yang mengunjungi Bu Tun.

Hingga lulus SD dan kami semua masuk SMP, kenangan akan Bu Tun masih melekat. Bahkan, kami masih bisa menyempatkan diri main ke rumah Bu Tun sepulang sekolah atau saat aku dan teman-teman SD ku berkumpul. Khusus buatku, Bu Tun adalah guru terbaik.

Tahun demi tahun berlalu. Nama Bu Tun makin tak terfikirkan, hingga beberapa waktu lalu (di tahun 2005, di saat aku berumur 30 tahun) seseorang tiba-tiba menyapaku melalui email, "Ini Mbak Rona yang dulu muridnya Bu Tun? Kenalkan, aku putranya.....".

........... bersambung..............


About the Author
susiivvaty

Share a little biographical information to fill out your profile. This may be shown publicly. Share a little biographical information to fill out your profile

No comments :

Leave a Reply

Our mission of increasing global understanding through exploration, geography education, and research.